Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Akuisisi Jet Tempur Pasca 2024 & Tantangan Disiplin Fiskal

Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia menerima 12 jet tempur Su-27/30, 24 F-16C/D, dan 42 jet tempur melalui Minimum Major Force (MEF) sebagai bagian dari pengembangan perlindungan jangka panjang periode 2010-2024. Rafale yang menggunakan utang luar negeri (PLN) sekitar 20 miliar dollar AS.

Angka tersebut belum termasuk rupee yang digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas logistik. Total 78 jet tempur tersebut belum termasuk pembelian 12 pesawat serang darat EMB-314 dan 22 jet latih T-50i.

Selain pembelian jet tempur baru dan bekas, PLN juga berencana mengupgrade armada 10 F-16A/B dengan sistem e-MLU dengan biaya sekitar US$700 juta, dan peningkatan kapasitas. Ular dan 16 Air – 27/30.

Berdasarkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri 2020-2024 (DRPLN-JM) yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, MEF masih memiliki program akuisisi jet tempur yang baru akan dilaksanakan pada akhir tahun ini.

Upaya akuisisi jet tempur F-15EX gagal karena Presiden Joko Widodo menyetujui usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menutup saham PLN di Kementerian Pertahanan sebesar US$ 25 miliar. Kegagalan ini tidak mengherankan mengingat usulan pendanaan program F-15EX merupakan perselisihan antar menteri terkait dan tidak sama dengan pembelian 42 Rafale.

Indonesia kini memasuki fase baru pembangunan militer dengan selesainya MEF. Program pembangunan pertahanan jangka panjang selanjutnya mencakup tahun 2025-2044, tahap pertama mencakup tahun 2025-2029.

Terkait pembelian jet tempur lima tahun ke depan, belum jelas apakah proses pengadaan Blue Book 2025-2029 hanya mencakup F-15EX atau akan dibeli juga jet tempur lainnya. Tentu saja pesawat tempur yang dimaksud adalah unit baru, bukan pesawat tempur bekas seperti Mirage 2000-5.

Parameter jet tempur pilihan Departemen Pertahanan belum diketahui publik. Garis besar parameter tersebut belum diungkapkan kepada publik dan bukan merupakan rahasia pemerintah atau rahasia dagang produsen pesawat tempur.

Melakukan patroli tempur udara di masyarakat, memberikan dukungan udara jarak dekat, menghilangkan operasi pertahanan udara musuh, dll. Selain karena Rafale dan F-15EX merupakan jet tempur lapis pertama generasi 4,5, ada baiknya dijelaskan kepada publik alasan keputusan pembelian jenis pilot tersebut.

Setidaknya ada empat parameter yang perlu diperhatikan saat membeli jet tempur. Pertama, aspek strategis, yaitu kemampuan untuk mendukung Indonesia dalam mencapai tujuan kebijakan untuk melindungi calon pemasok dan pemerintah negara calon.

Cakupan persoalan ini sangat luas dan penafsirannya memerlukan kecerdasan orang Indonesia. Permasalahannya bagi Indonesia, terkadang dokumen terkait pembelian jet tempur memuat klausul yang tidak sesuai dengan keinginan kebijakan pertahanan Indonesia dari pemerintah negara produsen.

Kedua, aspek militer. Kemampuan produsen pemasok potensial dan pemerintah negara pemasok potensial untuk menyediakan pesawat tempur dengan misi aktif dan untuk menjaga kesiapan operasional dan teknis pesawat tempur tersebut selama masa pakainya.

Selain itu, baik produsen calon pemasok maupun pemerintah negara calon pemasok dapat mendukung penambahan kemampuan jet tempur yang dibeli Indonesia. Persyaratan ini penting karena perkembangan geopolitik global sangat fluktuatif, dan keengganan Indonesia untuk bekerja sama dengan negara lain terkadang menyebabkan kelangsungan jet tempur tidak terjamin dalam jangka panjang.

Ketiga, aspek ekonomi. Indonesia harus memperhitungkan dengan cermat biaya siklus hidup jet tempur yang ingin dibeli, seperti biaya terkait akuisisi, pengoperasian, pemeliharaan, dan risiko lain yang dapat diperhitungkan.

Biaya siklus hidup setiap jet tempur berbeda-beda, jet tempur buatan Eropa dan Amerika Serikat memiliki biaya akuisisi lebih tinggi namun biaya siklus hidup lebih rendah dibandingkan jet tempur buatan pabrikan lain. Menghitung biaya siklus hidup penting karena berkaitan langsung dengan penganggaran umur jet tempur, yang diperkirakan akan bertahan sekitar 30 tahun atau lebih.

Keempat, keterlibatan dunia usaha. Indonesia telah menerapkan partisipasi dunia usaha dalam program akuisisi jet tempurnya, namun implementasinya masih belum merata. Hal ini mencakup industri pertahanan dan non-pertahanan dalam negeri yang belum cukup matang dalam mengelola teknologi maju, kendala finansial pada industri dalam negeri, peraturan keamanan teknologi yang diterapkan oleh pemerintah negara produsen jet tempur, dan lain-lain. Hidupkan.

Istilah partisipasi industri lebih disukai oleh negara-negara produsen lainnya karena program offset yang diupayakan Indonesia dipandang sebagai upaya untuk memanfaatkan teknologi yang mereka peroleh dengan cara yang lebih singkat dan lebih murah.

Seperti disebutkan sebelumnya, rencana impor F-15EX dapat dilaksanakan pada periode 2025-2029 untuk pengembangan kekuatan pertahanan. Pembelian jet tempur yang akan menerima dua mesin GE F110-129 ini diperkirakan menelan biaya antara 10 miliar hingga 15 miliar dolar, di mana harga akhir akan ditentukan berdasarkan kesepakatan Kementerian Pertahanan dan AS. . Kerja Sama Departemen Pertahanan.

Selain itu, sesuai rencana pemerintah saat ini 2025-2034, porsi PLN di Kementerian Pertahanan sebesar 30 miliar dolar. Jika pemerintahan baru pimpinan Prabowo Subianto ingin membeli jet tempur produksi Boeing, maka alokasi PLN tahun 2025-2029 dipastikan akan bertambah dan tidak memenuhi rencana Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Peningkatan porsi PLN dalam biaya mesin perang diperlukan selama kebijakan moneter tetap dipertahankan. Munculnya kembali gagasan untuk mengalokasikan belanja pertahanan sebesar $124 miliar selama periode 2025-2044 harus dipertimbangkan secara hati-hati dalam hal risiko keuangan.

Apakah pemerintah mempunyai kapasitas keuangan untuk meminjam $124 miliar? Apa risiko dari penerapan pengelolaan keuangan publik ini, termasuk rasio utang terhadap PDB dan kapasitas pembayaran utang jangka panjang pemerintah?

Kalaupun pemerintah punya kemampuan finansial, bagaimana dengan kemampuan PLN menyerap US$124 miliar? Berdasarkan pengalaman MEF 2010-2024, salah satu tantangan yang dihadapi Kementerian Pertahanan adalah kemampuan menyerap PLN.

Terkait data sementara MEF 2020-2024, meski Kementerian Keuangan sudah mengeluarkan penetapan sumber pendanaan, namun setidaknya ada 2,3 miliar USD PLN yang belum terpakai. Dengan berakhirnya MEF pada 31 Desember 2024, jumlah ini mungkin bertambah. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *