Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Catatan Implementasi Pengembangan Infrastruktur Gas Bumi

Gas alam dinilai dan diperkirakan akan berperan penting dalam transisi energi Indonesia baik secara global maupun global. Peran penting ini merupakan salah satu komponen yang sangat penting, layaknya sebuah jembatan.

Secara global, menurut data BP Natural Statistics 2022, pangsa gas alam sebagai sumber energi utama saat ini berkisar 24% dan kemungkinan akan terus meningkat. Selama dekade terakhir, konsumsi gas alam global meningkat sekitar 1,78% per tahun.

Dari perspektif nasional, proporsi gas bumi dalam bauran energi primer akan mencapai sekitar 15,96% pada tahun 2022. Pangsa ini diperkirakan akan terus berlanjut dan meningkat hingga tahun 2050. Dalam Rencana Induk Energi Nasional (RUEN), pemerintah memperkirakan pangsa gas alam dalam energi primer Indonesia akan mencapai sekitar 24% pada tahun 2050, menjadikannya sumber gas alam terbesar kedua setelah energi terbarukan.

Dalam konteks Indonesia, sumber pasokan dan pengguna gas bumi terletak secara geografis, melintasi pulau-pulau yang membentang dari NAD di barat hingga Papua di timur. dan jaringan pipa distribusi, tetapi juga mencakup infrastruktur LNG, yang meliputi kilang, fasilitas pengisian bahan bakar, fasilitas penyimpanan dan terminal. Makropolis dikembangkan oleh Kementerian Energi dan Gas Bumi secara makro terkait dengan transmisi dan distribusi gas bumi. Rencana Induk Jaringan Tenaga Listrik Nasional (RIJTDGBN) telah ditandatangani pada 12 Januari 2023 dengan Keputusan Nomor 10.K/MG.01/MEM.M/2023 terkait RIJTDGBN Tahun 2022-2031 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Dalam Peraturan Pengelolaan RIJTDGBN Tahun 2022-2031 Kementerian ESDM, Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) secara geografis terbagi menjadi 6 wilayah yaitu Wilayah 1: Aceh dan Sumatera Utara. Wilayah II: Kepulauan Riau, Sumatera Tengah dan Selatan serta Jawa Barat; Wilayah III: Jawa Tengah; Wilayah IV: Jawa Timur; Wilayah V: Kalimantan dan Bali Wilayah VI: Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Dalam jangka menengah, pemerintah menyatakan antara tahun 2020 hingga 2024, pembangunan infrastruktur pipa transmisi-distribusi gas bumi ditargetkan bertambah 2.000 kilometer, dengan total panjang pipa diperkirakan mencapai 17.300 kilometer pada tahun 2024.

Sebagian besar target tersebut direncanakan untuk wilayah Indonesia bagian barat, yang mencakup kurang lebih Wilayah I hingga Wilayah IV. Sementara itu, pembangunan infrastruktur gas di Indonesia bagian timur (Wilayah 4 hingga Wilayah VI) akan lebih fokus pada pembangunan fasilitas LNG berupa kilang, pengisian, dan rekonstruksi.

Dari sudut pandang makro, dapat dikatakan bahwa arah kebijakan yang dirumuskan dan ditetapkan pemerintah sebagian besar sudah jelas dalam menentukan dan memetakan kebutuhan infrastruktur yang menjadi isu utama pengembangan gas bumi negara.

Jika rencana infrastruktur makro yang ada saat ini terlaksana dengan baik, maka tidak hanya akan mendorong pengembangan cadangan gas bumi yang ada, namun juga akan lebih menyeimbangkan keseimbangan pasokan dan permintaan gas bumi antar daerah yang selama ini belum cukup seimbang juga merupakan bagian dari rencana strategis dan program kerja BUMN terkait, seperti Pertamina (khususnya penguasaan gas bumi, PGN) dan PLN.

Namun, pada tataran yang lebih operasional dan dalam rangka percepatan lebih lanjut implementasi kebijakan-kebijakan yang ada, setidaknya diperlukan tiga hal penting: konsistensi, koherensi dan proporsionalitas intervensi terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Hal ini mencakup pemberian sinyal aktif kepada para pelaku ekonomi mengenai cara: 1) mendorong investasi pada eksplorasi dan produksi gas alam hulu, 2) berinvestasi pada perluasan dan pengembangan infrastruktur distribusi gas di bagian tengah, dan 3) meningkatkan penggunaan gas oleh pengguna konvensional.

Dalam hal ini, alat kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan harga yang wajar berdasarkan prinsip dan kaidah ekonomi. Harga setiap bagian rantai pasok gas bumi harus konsisten dengan nilai dan sinyal keekonomiannya.

Dalam konteks ini, kebijakan insentif dan konsesi harus diterapkan secara langsung kepada kelompok sasaran (produsen dan konsumen) dan bukan dalam bentuk intervensi langsung atau pengaturan tingkat harga yang relevan.

Dalam hal ini, misalnya, kebijakan harga gas bumi (HGBT) harus dievaluasi sebagai kebijakan kelonggaran pajak bagi sektor industri. Mengkoordinasikan perencanaan program sangat penting untuk mengoordinasikan dan mensosialisasikan berbagai konsep, rencana, dan program di antara berbagai lembaga pembuat kebijakan dan pelaksana. Contohnya adalah penyelarasan Rencana Induk Infrastruktur Gas Bumi dengan Rencana Tata Niaga Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN).

Sinkronisasi juga diperlukan, misalnya pada rencana gasifikasi dan program pembangkit listrik PLN, dengan rencana dan program pembangunan infrastruktur penyediaan dan distribusi gas. Sinyal utama sinkronisitas dalam konteks ini adalah kejelasan pasar.

Hal ini memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai permintaan gas alam dan kepercayaan bagi pengusaha yang beroperasi di sektor komersial. Bagi konsumen gas alam dan perusahaan menengah, hal ini memberikan wawasan dan kejelasan dalam hal pasokan, sementara bagi perusahaan menengah, pasokan dan kejelasan adalah kunci dalam pengambilan keputusan. dan realisasikan investasi Anda.

Dalam konteks ini, laju perluasan dan pengembangan infrastruktur gas bumi ditentukan oleh sinkronisasi rencana program saat ini serta sinyal pasokan dan permintaan. Intervensi proporsional selalu diperlukan karena merupakan konsekuensi logis dan tak terelakkan dari adanya pilihan politik. Dari perspektif teori ekonomi, agar mekanisme pasar dapat berjalan, diperlukan intervensi yang proporsional (oleh pemerintah) untuk mengatasi kegagalan pasar.

Pada tataran praktis, misalnya dalam implementasi kebijakan yang mengharuskan pengusaha melakukan investasi, jika investasi (mekanisme pasar) tidak dapat berjalan secara mandiri, maka terdapat kesenjangan antara kecenderungan produsen untuk menjual dan kecenderungan konsumen untuk membeli (harga), yang merupakan rasio yang diharapkan dari intervensi pemerintah.

Dalam konteks ini, bagi pelaku usaha seperti PLN, gasifikasi pembangkit listrik – misalnya untuk mengkompensasi selisih produksi pembangkit listrik tenaga batu bara – harus disertai dengan “intervensi” berupa jaminan finansial (pembayaran). pengeluaran. Tugas yang diberikan kepada PGN antara lain perluasan jaringan pipa gas kota.

Namun dalam kedua kasus tersebut, terdapat biaya peluang yang harus dipilih oleh badan usaha untuk mengalokasikan sumber daya dan modal.

Insentif finansial langsung kepada industri pengguna gas alam merupakan bentuk intervensi yang tepat, dan upaya tersebut perlu dilakukan dalam rangka mendorong lebih banyak penggunaan gas bumi dan mendukung daya saing sektor industri dibandingkan dengan penerapan kebijakan HGBT. Hal ini diciptakan untuk mempercepat pembangunan dan pertumbuhan infrastruktur pasokan gas alam negara.

Implementasi ketiga proyek tersebut tidak hanya melengkapi arah kebijakan makro dan berbagai rencana program strategis yang telah ada, namun juga menjadi faktor pendorong (trigger factor), sehingga kebijakan pembangunan dan rencana program strategis infrastruktur gas bumi negara benar-benar dapat berjalan dan berjalan dengan baik. Mengerjakan. Berhasil diterapkan. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *