Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Dinamika Harga Minyak dan Pilihan Kebijakan Harga Energi Domestik

Konflik Iran-Israel meningkatkan ketidakpastian kondisi pasar minyak di seluruh dunia. Memang benar bahwa eskalasi konflik dapat melibatkan negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia, seperti Rusia dan Amerika Serikat, yang dapat mempengaruhi keseimbangan pasokan-permintaan pasar minyak global.

Selama masa konflik, harga minyak dunia mengalami volatilitas yang paling besar. Harga minyak BRENT dilaporkan meningkat signifikan dari US$84,52 per barel (15 Maret 2024) menjadi US$92,01 per barel (12 April 2024).

Banyak lembaga internasional, termasuk Badan Informasi Energi AS (EIA), memperkirakan harga minyak akan terus meningkat hingga akhir tahun 2024. Dalam skenario kasar, harga minyak pada paruh kedua tahun 2024 diperkirakan akan mencapai $90 per barel.

Harga Minyak, APBN dan Kebijakan Penetapan Harga Energi Dalam Negeri Karena telah menjadi konsumen dalam negeri, posisi Indonesia di pasar minyak global adalah sebagai price taker atau tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga. Situasi neraca minyak Indonesia telah menempatkan Indonesia pada posisi di mana setiap kenaikan harga minyak dunia akan memberikan beban yang lebih berat dibandingkan dengan kemampuan minyak yang dapat diterima oleh APBN.

Berdasarkan perkiraan pemerintah mengenai posisi APBN tahun 2024, diketahui setiap kenaikan harga minyak atau ICP sebesar US$1 per barel akan menambah defisit APBN sebesar Rp6,5 triliun. Salah satu penyebab defisit ini adalah meningkatnya kebutuhan anggaran untuk subsidi dan kompensasi bahan bakar.

Dalam APBN 2024, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) ditetapkan sebesar $82 per barel. Berdasarkan PCI, subsidi dan kompensasi energi pada TA 2024 ditetapkan sekitar Rp329,9 miliar, meningkat dari capaian TA 2023 yang dilaporkan sebesar Rp269,6 triliun.

Peningkatan anggaran subsidi dan penyeimbangan energi pada tahun 2024 antara lain disebabkan oleh peningkatan volume subsidi solar sekitar 11% dibandingkan tahun sebelumnya; Subsidi listrik meningkat sekitar 9,1% dan kompensasi bahan bakar per liter meningkat sekitar 9,02%.

Simulasi pemerintah menunjukkan jika PCI mencapai $100 per barel, maka kebutuhan subsidi BBM dan anggaran kompensasi bisa meningkat dari Rp 160,91 triliun menjadi Rp 249,86 triliun. Kebutuhan subsidi BBM dan anggaran kompensasi akan meningkat menjadi Rp287,24 triliun jika ICP mencapai US$110 per barel.

Selain mempengaruhi kebutuhan anggaran dan kompensasi subsidi BBM, peningkatan PCI menjadi US$100 per barel juga akan meningkatkan kebutuhan anggaran subsidi LPG sebesar 27,6 persen atau dari Rp83,27 triliun menjadi Rp106,28 triliun. Kebutuhan anggaran subsidi LPG diperkirakan meningkat menjadi Rp 166,97 jika PCI mencapai level US$110 per barel.

Oleh karena itu, jika PCI naik menjadi $100 per barel, maka total anggaran yang diperlukan untuk subsidi BBM dan kompensasi serta subsidi LPG diperkirakan mencapai Rp356,14 triliun. Total kebutuhan anggaran akan meningkat menjadi sekitar Rp454,21 triliun jika harga ICP mencapai $110 per barel.

Simulasi harga minyak yang dilakukan pemerintah sebenarnya bukanlah hal baru: pada tahun anggaran 2022, ketika harga minyak meningkat, pemerintah juga meningkatkan anggaran subsidi dan kompensasi energi.

Saat harga minyak dunia diperkirakan sebesar $90 per barel, melebihi asumsi PCI dalam APBN 2022 yang ditetapkan sebesar $63 per barel, pemerintah menambah alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp152,5 triliun. sebesar Rp 551 triliun.

Pengambilan Kebijakan Berdasarkan proyeksi energi APBN 2024, terlihat bahwa jika semuanya berjalan seperti biasa, pemerintah pada dasarnya tampaknya berusaha untuk tidak melakukan penyesuaian harga energi pada tahun anggaran 2024. Subsidi, penambahan alokasi anggaran untuk subsidi listrik, dan peningkatan anggaran kompensasi bahan bakar per liter.

Dari sisi makroekonomi dan kepentingan stabilitas sosial dan politik, pilihan kebijakan yang dituangkan dalam APBN 2024 adalah wajar dan beralasan. Secara makroekonomi, harga listrik untuk pembelian energi mempunyai peranan penting dalam mendukung dan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.

Memang, sebagian besar, sekitar 55%, produk domestik bruto (PDB) Indonesia dihabiskan untuk kegiatan konsumsi dalam negeri. Sementara itu, harga energi masih memberikan dampak signifikan terhadap aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia.

Dari sisi stabilitas sosial dan politik, pilihan untuk tidak menaikkan harga listrik juga dapat dimaklumi mengingat tahun anggaran 2024 merupakan tahun pergantian pemerintahan. Selama masa transisi, stabilitas di banyak bidang, termasuk harga energi yang stabil, diperlukan. Perlu diingat juga bahwa tidak jarang kebijakan penyesuaian harga energi mendapat respon negatif dari masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, pilihan politik untuk tidak melakukan penyesuaian (menaikkan) harga energi dapat dimengerti. Namun mengingat Indonesia sudah menjadi negara minyak, pilihan kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang sangat tinggi.

Dari sisi finansial atau biaya APBN saja, misalnya jika harga minyak mencapai 110 dolar per barel, maka pilihan politik untuk tidak melakukan penyesuaian harga bensin dan elpiji membutuhkan dukungan anggaran sekitar Rp 454,210 miliar. Namun persyaratan kewenangan pengelolaan anggaran tidak mencakup alokasi anggaran subsidi dan kompensasi listrik.

Kebijakan menjaga harga listrik tidak hanya berdampak pada APBN, tetapi juga keuangan perusahaan publik yang menerapkan kebijakan tersebut, seperti Pertamina dan PLN. Bagi Pertamina misalnya, selama ini kenaikan harga minyak menyebabkan rasio laba terhadap pendapatan operasional perusahaan mengalami tren penurunan. Hal ini disebabkan karena struktur keuangan Pertamina sangat dipengaruhi oleh konsistensi kebijakan tata niaga bahan bakar yang ditetapkan pemerintah.

Selama 10 tahun terakhir, hampir 80% pendapatan Pertamina dibelanjakan untuk penjualan dalam negeri. Sementara itu, sekitar 91 persen penjualan dalam negeri merupakan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan hilir yang mencakup 80 persen penjualan bahan bakar dan 11 persen penjualan LPG, petrokimia, pelumas, dan produk lainnya. Struktur pendapatan ini menjelaskan mengapa keuangan Pertamina sangat sensitif terhadap perubahan harga minyak.

Dari sisi pendapatan masyarakat, kebijakan pemerintah yang menjaga harga listrik nasional juga berimplikasi pada kemungkinan hilangnya Pendapatan Nasional Non Pendapatan (PNBP) secara signifikan.

Simulasi pemerintah menunjukkan setiap kenaikan ICP sebesar US$1 per barel pada APBN 2024 akan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 1,8 triliun. Namun, jika pemerintah mempertahankan harga minyak bumi, seperti pada contoh penerapannya kebijakan HGBT, hal ini akan mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan PNBP.

Sebagai gambaran, mengacu pada data SKK Migas, selama periode 2021-2023, potensi hilangnya pendapatan provinsi di sektor hulu migas sejak penerapan program HGBT mencapai sekitar Rp45,06. triliun, diperkirakan Rp 15,2 triliun per tahun.

Merujuk pada perhitungan sensitivitas harga minyak terhadap penerimaan negara, potensi hilangnya penerimaan negara akibat penerapan kebijakan HGBT pada TA 2024 masih akan lebih besar mengingat harga minyak yang terus meningkat.

Mengingat permasalahan dan perkembangan yang ada, pembagian atau pembagian beban dapat menjadi pilihan kebijakan yang perlu dipertimbangkan. Risiko kenaikan harga minyak dunia sebagian harus ditanggung oleh APBN, sebagian lagi oleh konsumen, dan sebagian lagi oleh badan usaha milik negara yang beroperasi, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip penyelenggaraan usaha yang baik.

Situasi saat ini memang tidak mudah, namun jika mempertimbangkan banyak faktor, kebijakan yang diterapkan berpotensi memberikan manfaat yang signifikan. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *