Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Hari Pahlawan, KH Abdul Chalim, dan Pentingnya Dokumentasi

Tentu saja sejarah adalah tentang kehidupan manusia dan dinamikanya. Terkadang kita belajar tentang suatu peristiwa sejarah dari sebuah perkataan yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Namun kisah demikian, meskipun diyakini kebenarannya, tetap mempunyai kelemahan, yaitu tidak adanya catatan tertulis yang autentik mengenai peristiwa tersebut.

Sebuah cerita sejarah menjadi lebih kuat jika pengarangnya tidak hanya kontemporer, namun juga terlibat aktif dalam peristiwa tersebut. Aktif di sini maksudnya pencatat peristiwa tidak hanya sekedar mendokumentasikan melalui catatan, namun juga memberikan gagasan agar peristiwa-peristiwa penting dapat terjadi.

Seperti yang terjadi pada peristiwa pahlawan tahun 1945 pada 10 November. Sebuah acara yang dihadiri ratusan ribu Arek Suroboyo untuk menentang penindasan. Dalam kejadian tersebut seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang suku, golongan, dan agama ikut menyerbu kota Surabaya. Kini acara tersebut diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Tentu saja AU sebagai ormas terbesar juga turut andil dalam peristiwa penting tersebut, bahkan AU Kias pun “bertekad” memulai pertarungan. Perintah di lapangan bisa datang dari aspek apa pun, namun bila berperang itu atas saran kiai NU.

Kita tidak bisa mengetahui kontribusi kiai jika tidak didokumentasikan. Meskipun ada sejarah lisan yang diwariskan secara turun-temurun, namun dianggap kurang kuat dibandingkan dokumen sejarah.

Selain para kiai yang terkenal pada masanya, ada juga sebagian kiai yang senang membuat dirinya tidak dikenal. Mereka bertugas mencatat dan mengawal kia induk.

Orang-orang dibelakangnya sebagai informan seringkali dilupakan, apalagi jika menyangkut peristiwa besar dan orang-orang hebat.

Seperti pada organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU). Siapa yang tidak mengenal Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Abbas dan Kiai-kiai besar lainnya? Hampir setiap penduduk AS mengetahuinya

Ada banyak cerita berbeda tentang orang-orang penting di AU, dengan dinamika dan sikapnya masing-masing. Ada cerita tentang pemahaman agama yang luas, sikap kepahlawanan, kegigihan berjuang, kesaktian, dan lain-lain.

Pernahkah kita memikirkan orang-orang yang menuliskan ide-ide besar dari hal menakjubkan ini?

Ini Kiai Abdul Chalim dari Levimunding, Majalengka. Sebagian besar penduduk AS mungkin belum familiar dengan nama ini. Hal ini wajar karena namanya jarang terucap, pemikirannya jarang dibicarakan, dan perannya jarang terungkap.

Apalagi Kiai Abdul Chalim hidup pada masa Kiai Mu’assis (pendiri) besar NU hidup. Masyarakat pasti lebih tertarik dengan kisah Kiai Hasim Asyari, Kiai Wahab Chasbullah, dan Kiai Abbas.

Namun jasa-jasa Kiai Abdul Chalim sangat besar tidak hanya dalam perkembangan UM tetapi juga dalam perjuangan kemerdekaan.

Kiai Abdul Chalim lahir pada tanggal 2 Juni 1898 di Majalengka. Saat menuntut ilmu di Makkah, ia bertemu dengan para Kiai yang saat itu sedang menuntut ilmu di sana, seperti Kiai Wahab Chasbollah, Kiai Raden Asnawi, dan lain-lain. Semasa di Makkah, ia aktif di organisasi Sarekat Islam (SI) yang saat itu merupakan organisasi politik.

Sepulangnya ke tanah air, persahabatannya dengan Kiai Wahab Chasbullah terus berlanjut. Keduanya merupakan davuhi atau “pelaksana” kebijakan Kiai Hasim.

Saat Kiai Hasim meminta Kiai Wahab menghubungi kiai di nusantara, Kiai Abdul Chalim menyusun konsep pertemuan tersebut. Diantaranya yang besar adalah Komite Hijaz, delegasi ulama Indonesia yang memprotes kebijakan Kerajaan Arab Saudi saat itu yang membongkar makam Nabi, “membersihkan” agama, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Berdasarkan rekomendasi dan kontribusi Kiai Abdul Chalim dalam mengkontekstualisasikan permasalahan kontemporer saat itu dan memenuhi persyaratan administratif, Kerajaan Arab Saudi membentuk dan menerima Komite Hijaz.

Demikian pula, kata “kemerdekaan” digunakan dalam kerangka AU. Ketika Qiyai Wahab Chasbullah menjalankan perintah Qiyai Hasim, Qiyai Abdul Chalim kemudian menganjurkan kata “kemerdekaan” dalam surat-surat, diskusi dan gerakan para ulama.

Qiya Wahab Chasbollah menerima anjuran Qiya Abdul Chalim, sehingga perlahan tapi pasti kata ‘kemerdekaan’ tersebar di kalangan ulama saat itu. Kiai Abdul Chalim juga berperan besar dalam pendirian dan pengembangan NU di Cirebon.

Contoh kedekatan hubungan antara Kiai Abdul Chalim dan Kiai Wahab Chasbullah adalah memoar perjalanan dari Universitas Nasional Irlandia yang dikatakan oleh Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Abdul Chalim lah yang merekamnya.

Kiai Wahab mengatakan, Kiai Abdul Chalim menulis catatan dalam huruf Arab dan berbentuk nadhom atau puisi. Bagaimana kita mengetahui karya Kiai Abdul Chalim? Dari arsip berita NU Swara Nahdlatul Oelama, khususnya pers NU yang berdiri sejak pertama kali NU berdiri.

Selain itu, laporan dan catatan konferensi AU seringkali menyebut nama Kiai Abdul Chalim yang turut hadir dan berkontribusi dalam konferensi tersebut.

Kiai Abdul Chalim mengajarkan kita pentingnya mendokumentasikan, mencatat, mengkontekstualisasikan dan secara administratif mengontekstualisasikan atau menyempurnakan ide-ide besar. Melalui catatan, peristiwa itu bisa “hadir” kembali, bukan sekedar cerita yang diceritakan.

Termasuk kontribusi para Kiai dan santri terhadap peristiwa 10 November 1945, khususnya kisah kepahlawanan rakyat Surabaya yang tentu saja memasukkan kontribusi para ulama dan santri yang sangat penting terhadap peristiwa tersebut.

Negara dan bangsa Indonesia memperingati peristiwa ini sebagai Hari Pahlawan. Kontribusinya yang besar dan fakta yang terdokumentasi dengan baik membuat wajar jika Kiai Abdul Chalim disebut oleh publik dan dianugerahi Pahlawan Nasional oleh negara. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *