Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Indonesia di Tengah Spionase Teknologi Pertahanan

Tuduhan pelanggaran keselamatan terhadap insinyur Indonesia yang terlibat dalam program KF-21/IFX di fasilitas Korea Aerospace Industries (KAI) bukanlah hal yang mengejutkan. Menurut informasi dari sumber terpercaya yang mengetahui kasus tersebut, beberapa insinyur Indonesia dituduh mengambil foto dan dokumen terkait program pesawat tempur F-414-GE-400K milik General Electric.

Kasus-kasus tersebut nampaknya merupakan ancaman terhadap keamanan nasional Korea Selatan, sehingga penyelidikan atas dugaan tersebut juga melibatkan departemen intelijen utama yaitu Badan Intelijen Nasional (NIS). Lantas mengapa tuduhan pelanggaran keselamatan terhadap beberapa insinyur Indonesia tidak mengherankan?

Dibalik tingginya nilai ekspor alutsista Korea Selatan ke Indonesia sejak tahun 2010 hingga saat ini, serta di balik terjalinnya kerja sama industri pertahanan antara Seoul dan Jakarta, intelijen sejak awal menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai contoh, pada tahun 2011, perangkat elektronik delegasi Indonesia yang berkunjung ke Korea Selatan di bawah kepemimpinan pemerintahan Perdana Menteri Susilo Bambang Yudhoyono diduga diretas oleh agen NIS.

Sedangkan pada program KF-21/IFX, akses insinyur Indonesia terhadap gedung, ruangan, dan data teknis program sangat terbatas karena mereka bekerja di kompartemen. Mereka tidak memiliki akses ke semua data teknik dan desain pesawat tempur tersebut, serta data kinerja KF-21/IFX dalam penerbangan.

Langkah Korea Selatan yang memblokir akses insinyur Indonesia bisa dimaklumi karena negara tersebut tertarik mendapatkan data terkait program jet tempur 4.5. Selain itu, Seoul juga memiliki perjanjian dengan Washington mengenai keamanan teknologi yang disediakan Amerika Serikat untuk program KF-21, dimana Korea Selatan tidak boleh memberikan data kepada mitra lain tanpa izin Washington.

Seperti diketahui, Indonesia belum memiliki kesepakatan dengan Amerika Serikat mengenai keamanan teknologi terkait program Engineering, Manufacturing and Development (EMD) KF-21/IFX. Tidak adanya perjanjian tersebut menjadi salah satu alasan mengapa akses insinyur Indonesia terhadap fasilitas KAI sangat terbatas.

Di sisi lain, merujuk pada kesepakatan pada pertemuan Defense Industry Cooperation Committee (DICC) antara Indonesia dan Korea Selatan beberapa tahun lalu, Korea Selatan menekankan pentingnya teknologi keamanan pertahanan dalam kerja sama kedua negara.

Korea Selatan juga telah meminta Kelompok Penasihat Keamanan Teknologi Pertahanan yang disepakati melalui Nota Kesepahaman pada tahun 2017 untuk segera bertemu. Saat itu, Indonesia mengumumkan rencana reorganisasi di lingkungan Kementerian Pertahanan dengan membentuk satuan kerja yang bertanggung jawab di bidang keamanan teknologi pertahanan di tingkat direktorat jenderal. Namun hingga saat ini janji tersebut belum dipenuhi oleh Indonesia.

Meskipun ada tuduhan dari Korea Selatan bahwa beberapa insinyur Indonesia terlibat dalam pelanggaran peraturan keamanan, kegiatan spionase industri di seluruh dunia merupakan hal yang lumrah. Seiring kemajuan teknologi, spionase industri menjadi semakin canggih karena tidak selalu harus dilakukan melalui kecerdasan manusia, namun melalui intelijen siber.

Pengembangan jet tempur J-31 yang dilakukan Tiongkok sebagian menggunakan data dari program F-35 Joint Strike Fighter AS yang dicuri pada tahun 2007 melalui salah satu subkontraktor Lockheed Martin. Di sisi lain, meskipun program F-35 melibatkan sejumlah mitra AS dalam pendanaan, tidak semua negara peserta memiliki akses tak terbatas terhadap data teknik, desain, dan kinerja jet tempur generasi kelima ini.

Dalam urusan spionase teknologi pertahanan, harus diakui bahwa Indonesia lebih sering menjadi korban dibandingkan pelaku kejahatan yang berhasil merampas rahasia industri dari pihak lain. Seringkali terdapat laporan bahwa kamar hotel delegasi Indonesia telah dicuri selama kunjungan ke negara lain untuk tujuan yang berkaitan dengan sektor pertahanan.

Pada sebagian besar kasus pencurian yang terjadi, sasaran aktivitas ilegal tersebut adalah perangkat elektronik seperti laptop dan USB. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya sikap Indonesia di tengah aktivitas spionase industri pertahanan yang dilakukan negara mitra Indonesia?

Pertama, pemahaman. Pengetahuan mengenai intelijen teknologi pertahanan di Indonesia masih rendah, baik di tingkat pengambil kebijakan maupun pelaku industri pertahanan. Jangankan keamanan siber, keamanan fisik di berbagai perusahaan industri pertahanan masih sangat lemah.

Misalnya, pengunjung dan karyawan tetap bisa memasuki fasilitas perusahaan industri pertahanan dengan perangkat elektronik seperti ponsel, tablet, dan USB.

Kedua, supremasi hukum. Indonesia belum memiliki peraturan hukum khusus yang mengatur keamanan teknologi pertahanan. Peraturan hukum tersebut memang penting dalam upaya Indonesia mengembangkan sektor pertahanan, termasuk pengelolaan hukum atas teknologi maju yang diperoleh dari negara mitra.

Persoalan peraturan hukum mengenai keamanan teknologi pertahanan selalu menjadi kendala bagi Indonesia untuk menjalin kerja sama yang lebih mendalam dengan negara lain. Sebab, persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kesepakatan bilateral.

Ketiga, lembaga penegak hukum. Selain belum memiliki regulasi hukum mengenai keamanan teknologi pertahanan, Indonesia juga belum memiliki lembaga yang bertanggung jawab terhadap permasalahan tersebut.

Tugas badan tersebut adalah memastikan bahwa seluruh teknologi pertahanan lembaga pemerintah dan industri pertahanan disimpan dengan aman sesuai dengan standar yang ditetapkan, tidak dicuri oleh pihak ketiga, dan tidak dialihkan ke pihak ketiga tanpa persetujuan pemerintah. . Upaya menjaga keamanan teknologi pertahanan memerlukan lembaga khusus karena domain ini tidak dapat dikelola oleh lembaga penegak hukum konvensional.

Keempat, penanggung jawab intelijen industri pertahanan. Belum jelas apakah ada lembaga di Indonesia yang secara khusus bertanggung jawab atas kegiatan intelijen teknologi, termasuk teknologi pertahanan, atau tidak. Apakah agen-agen badan intelijen tersebut paling terkenal hingga saat ini?

Merujuk pada praktik di beberapa negara, badan intelijen yang fokus pada ancaman eksternal dan badan intelijen terkait keamanan siber dan keamanan siber bertanggung jawab melakukan intelijen teknologi, termasuk teknologi pertahanan. Ada pandangan umum bahwa spionase teknologi belum menjadi prioritas di Indonesia. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *