Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Mempertanyakan Masa Depan CN235 di Pasar Internasional

Dengan status kontrak pengadaan 18 Rafale produksi Dassault Aviation yang memasuki tahap efektif pada 10 Agustus 2023, maka PT Dirgantara Indonesia berpeluang kembali mendapat program subsidi program tersebut. Pada September 2022, Menteri Keuangan merilis sumber pembiayaan (PSP) untuk 18 Rafale senilai US$2,9 miliar, setelah persetujuan PSP pada April 2021 untuk pesawat tempur tersebut sebesar US$1,1 miliar.

Dengan modal USD 1,1 miliar, Indonesia telah mendapat enam proyek Rafale dan lima proyek reduksi untuk PT LEN Industri dan PT Dirgantara Indonesia.

Salah satu program anak perusahaan yang diterima PT Dirgantara Indonesia dari Dassault Aviation adalah produksi pintu landing gear. Produksi suku cadang pesawat terbang merupakan salah satu bidang usaha perusahaan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. B.J. Habibie yang dikenal dengan nama PT IPTN.

Selama ini bisnis aerostruktur menjadi salah satu mesin penghasil uang PT Dirgantara, meski terdapat kesenjangan antara pendapatan potensial dan pendapatan aktual. Didirikan pada tanggal 23 Agustus 1976, perusahaan ini memiliki potensi pendapatan dari bisnis aerostruktur komersial sekitar $100 juta per tahun, namun pendapatan sebenarnya hanya $8 juta per tahun.

Selain badan pesawat, lini bisnis perusahaan yang memproduksi helikopter BO 105 dengan lisensi ini adalah manufaktur pesawat terbang. Meski PT Dirgantara Indonesia kini telah memproduksi dua versi turboprop N219, namun pesawat yang ditenagai mesin Pratt & Whitney Canada PT6 itu belum bisa menjadi mesin penghasil uang bagi perusahaan.

Dua pesawat produksi IPTN pada akhir tahun 1970-an dan pertengahan tahun 1980-an, yakni NC212i dan CN235, masih menjadi andalan industri pembuatan pesawat terbang. Kedua jenis pesawat tersebut merupakan warisan kerjasama komersil antara CASA dan IPTN, dimana IPTN tidak dapat dipisahkan dari citra Dr. B.J.Habibi.

Sementara NC212i merupakan pesawat yang diproduksi berdasarkan lisensi dari CASA yang kini telah bergabung dengan Airbus Defence and Space, sedangkan CN235 dirancang dan diproduksi oleh CASA dan IPTN melalui perusahaan patungan, Airtech. Produksi CN235 antara tahun 1983 hingga 2015 dilakukan oleh Airbus Defence and Space dan PT Dirgantara Indonesia, namun kini pesawat turboprop tersebut hanya diproduksi di Bandung.

Sebagai bagian dari perjanjian untuk mengakuisisi dua A400M dan opsi empat A400M tambahan antara Indonesia dan Airbus Defence and Space, pihak terakhir setuju untuk memberikan hak independen atas CN235 kepada pihak sebelumnya. Berdasarkan perjanjian pelepasan tersebut, maskapai Indonesia dapat memproduksi seluruh bagian CN235 di Bandung dan tidak tunduk pada pengiriman ke Seville.

Jika perjanjian kompensasi pembelian A400M efektif, apakah kinerja pembelian CN235 PT Dirgantara Indonesia akan membaik? Berdasarkan data, sejak tahun 1983 hingga saat ini, CASA dan IPTN telah memproduksi total 273 unit CN235. CASA memproduksi 213 CN235 antara tahun 1983-2015, sedangkan IPTN antara tahun 1987-2023 memproduksi 70 unit. Antara tahun 2015 dan 2023, bekas perusahaan milik negara ini memproduksi delapan CN235.

Pertanyaannya mengapa produksi CN235 di Bandung sangat sedikit? Dari segi komersial, ada beberapa hal yang membuat CN235 buatan Indonesia kurang kompetitif di pasaran.

Salah satu pesaing langsung maupun tidak langsung CN235 di pasar internasional adalah C295 yang merupakan pengembangan satu arah dari CN235 oleh CASA sejak tahun 1996. Tiga badan pesawat di bagian belakang membuatnya lebih panjang dari CN235.

Selain itu, jika CN235 menggunakan mesin General Electric CT7-9C, C295 menggunakan mesin Pratt & Whitney Canada PW127G. Dari segi performa, CN235 memiliki berat lepas landas maksimum (MTOW) sebesar 16,5 ton, sedangkan MTOW C295 tercatat 21 ton.

CN235 memiliki muatan maksimum 6 ton, sedangkan muatan maksimum C295 adalah 7 ton pada kondisi normal dan 9 ton pada kondisi ekstrim. Di sisi lain, dari segi harga jual, baik CN235 produksi PT Dirgantara Indonesia maupun C295 produksi Airbus Defence and Space sama-sama kompetitif, berkisar antara USD 30 juta – USD 35 juta per unit, tergantung kuantitas yang dibeli dan pemrosesan yang diminta. oleh pelanggan.

Berdasarkan data, antara tahun 2015-2022, Airbus Defense and Space memproduksi 90 unit C295 dari total produksi sejak tahun 2001 sebanyak 217 pesawat. Seperti disebutkan sebelumnya, PT Dirgantara Indonesia bisa memproduksi delapan CN235 sekaligus.

Pasar potensial untuk CN235 antara lain Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam dan Filipina yang memilih untuk mengakuisisi C295. Selain itu, beberapa pelanggan lama CN235 buatan Indonesia seperti Burkina Faso, Senegal, dan Uni Emirat Arab kini telah membeli C295.

Selain faktor C295, tampaknya mahalnya biaya produksi CN235 di Indonesia juga membuat pesawat bermesin ganda ini kurang mampu bersaing di pasar internasional. Beberapa mesin seperti mesin CNC milik PT Dirgantara Indonesia merupakan warisan IPTN dan perlu dilakukan penggantian untuk meningkatkan produksi.

Perlu juga diperhatikan bagaimana perusahaan membiayai kegiatan produksinya melalui pinjaman perbankan, seperti bunga pinjaman. Bank-bank seperti bank-bank milik negara sangat berhati-hati dalam memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan industri pertahanan milik negara dan anak perusahaannya karena masa lalu. pengalaman.

Juga permasalahan supply chain seperti biaya pengadaan material seperti alumunium, duralumin, komposit dan lain sebagainya. Apakah produk tersebut dibeli langsung dari produsennya atau dari pihak kedua atau ketiga? Semakin panjang rantai pasoknya, maka semakin mahal pula bahan baku yang harus dibeli.

Singkatnya, PT Dirgantara Indonesia perlu melakukan lebih banyak pekerjaan rumah agar kinerja penjualan CN235 bisa meningkat. Hal ini belum menyentuh permasalahan lain seperti kemampuan finansial Eximbank di Indonesia dalam memberikan kredit ekspor kepada calon nasabah CN235. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *