Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Menerka Bentuk Badan Penerimaan Negara Pada Janji Para Capres

Kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2024 dimulai pada 28 November 2023. Seluruh pasangan calon berlomba-lomba menawarkan program kerja berbeda yang diprioritaskan saat membeli paspor. Usulan program kerja atau janji kampanye tersebut nantinya akan menjadi arah kebijakan pemerintah dalam pemberian alokasi anggaran.

Kampanyenya sudah cukup lama, janjinya sebagian besar berkaitan dengan sisi belanja APBN. Program-program baru yang diumumkan tentu akan membebani anggaran jika tidak ditangani dengan baik.

Kecuali jika program yang ditawarkan didanai oleh program lain sebelumnya. Baik dengan melakukan realokasi biaya dari program yang sudah ada atau dengan mengubah prioritas program yang sudah ada.

Mengubah anggaran dan mengubah prioritas program adalah cara termudah untuk mendanai janji kampanye. Artinya, setiap program kerja baru diajukan oleh dua kandidat, maka akan berdampak pada program lain yang harus dihilangkan atau pendanaannya dikorbankan.

Selain penyesuaian sisi belanja APN, opsi lain yang bisa dilakukan adalah mendorong peningkatan penerimaan negara. Peningkatan sisi penerimaan APBN akan membuat pemerintah bisa belanja lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Artinya, pemerintah dapat membiayai program baru tanpa menghilangkan program yang sudah ada. Namun, meningkatkan pendapatan bukanlah hal yang mudah dan ada kecenderungan pilihan tersebut kurang menarik untuk dipilih. Alih-alih mendapatkan suara lebih banyak, mempublikasikan ide yang salah justru bisa menurunkan popularitas pasangan pesaing.

Terkait pendapatan negara, tampaknya muncul ide untuk membentuk lembaga baru yang mempunyai tugas khusus dalam meningkatkan pendapatan negara mengingat visi dan misi beberapa pasangan calon. Terciptanya usulan tersebut dimungkinkan karena adanya kemungkinan peningkatan belanja negara untuk mendanai program kerja baru, namun tren penerimaan negara tertahan.

Faktanya, sisi pengeluaran pemerintah memiliki ruang anggaran yang sangat terbatas mengingat berbagai alokasi wajib yang harus dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya. Belanja wajib berupa alokasi anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan kewajiban terkait utang dan bunga utang.

Selain itu, perlu adanya perimbangan keuangan dalam transfer dana ke daerah dan negara, sehingga jika peningkatan pendapatan tidak proporsional maka kedudukan presiden akan menyempit.

Di sisi lain, menarik untuk membahas rencana pembentukan lembaga baru guna meningkatkan pendapatan. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam optimalisasi pendapatan adalah bahwa rasio fiskal Indonesia pada dasarnya sedang tren di daerah. Tarif pajak Indonesia pada tahun 2021 tergolong rendah yaitu sebesar 10,9%, di bawah rata-rata negara Asia Pasifik sebesar 19,8%.

Selain itu, dari segi struktur penerimaan negara, Indonesia sangat bergantung pada penerimaan pajak badan dan kontribusi penerimaan pajak orang pribadi masih rendah. Strukturnya sangat timpang dibandingkan rata-rata negara Asia Pasifik yang memiliki rasio pajak pribadi dan pajak perusahaan yang setara.

Kembali ke pembahasan pembentukan Badan Pendapatan Negara, gagasan tersebut patut dikaji secara mendalam jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Sisi pertama berkaitan dengan kebijakan ekonomi mengenai jumlah uang yang beredar.

Secara klasik, kebijakan tersebut dibagi menjadi kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan moneter dilakukan oleh bank sentral melalui berbagai alat, termasuk suku bunga, persyaratan cadangan, dan operasi pasar untuk mempengaruhi volume uang yang beredar. Sedangkan kebijakan fiskal dilakukan oleh menteri keuangan dengan memperbaiki pajak dan belanja pemerintah untuk mempengaruhi aliran uang.

Pembentukan badan pendapatan negara sedikit banyak akan mempunyai pengaruh terhadap kebijakan fiskal pemerintah di masa yang akan datang. Sebab, kekuasaan untuk memutuskan kebijakan antara pendapatan dan pengeluaran akan berada di tangan yang berbeda.

Hal ini tentunya memerlukan koordinasi dan harmonisasi peraturan mengenai perumusan kebijakan anggaran pemerintah. Jika kebijakan tersebut diselesaikan lebih awal di tingkat kementerian, maka perumusan kebijakan selanjutnya akan lebih tinggi karena sisi penerimaan dan sisi pengeluaran berbeda di berbagai lembaga.

Bagaimana dengan praktik di negara lain? Sebagian besar negara di dunia menggabungkan pengelolaan pendapatan dan belanja dalam satu kementerian. Contoh lembaga yang bertanggung jawab mengumpulkan pendapatan pajak di Amerika Serikat adalah Internal Revenue Service, atau IRS.

Nama besar IRS dikenal orang di seluruh dunia, salah satu hal yang menonjol adalah keberhasilannya pada tahun 1920-an dalam menangkap gangster terkenal Al Capo namun dalam kasus penggelapan pajak yang ditemukan oleh IRS.

Peran IRS yang kuat dalam pengumpulan pajak membuat sebagian orang berpikir bahwa IRS adalah lembaga yang lebih unggul di luar Departemen Keuangan AS.

Konsolidasi pendapatan dan pengeluaran dalam satu kementerian juga dilakukan di Australia, China, Singapura, Malaysia dan banyak negara lain di dunia. Hanya sedikit negara yang memilih untuk memisahkan keduanya menjadi lembaga terpisah, seperti Inggris.

Pembahasan selanjutnya menyangkut siapa yang akan menjadi bagian dari lembaga baru tersebut. Seperti kita ketahui, sisi penerimaan APBN terdiri dari dua kelompok yakni penerimaan fiskal dan penerimaan nonfiskal pemerintah (PNBP).

Departemen apa saja yang akan menjadi bagian Badan Pendapatan Negara, terbatas pada departemen yang terkait dengan penerimaan pajak? Bagian yang terkait dengan bea masuk atau ekspor? Atau semua departemen termasuk PNBP diberdayakan melalui pendapatan negara?

Terakhir, yang kurang penting adalah terkait pekerjaan yang dilakukan selama ini dalam penatausahaan APBN. Di antara pemasukan dan pengeluaran terdapat bagian dimana bagian-bagian Chelon lainnya bekerja sama dalam aktivitas sehari-hari.

Misalnya penghitungan dan pemungutan penerimaan negara untuk impor dan ekspor atau pemungutan pajak dari belanja APBN. Kedua penerimaan pajak ini dipungut oleh departemen lain di sektor ini yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb).

Permasalahan tersebut, khususnya terkait DJPB, akan semakin pelik jika dibentuk lembaga baru di luar Kementerian Keuangan yang tugas utamanya meningkatkan pendapatan negara. Apakah kewenangan memungut pajak pengeluaran dari APBN akan tetap berada di DJPb atau kewenangan tersebut akan dihapus dan dialihkan ke Badan Pendapatan Negara?

Dua pilihan yang muncul mempunyai hasil yang sangat membingungkan. Jika pemungutan pajak tetap dilakukan melalui DJPb, keberadaan badan penerimaan negara menjadi tidak relevan.

Sebab, selalu ada aspek pendapatan yang dikaitkan dengan belanja pemerintah. Namun, jika kewenangan tersebut dialihkan ke Badan Pendapatan Negara, maka akan semakin rumit karena badan baru tersebut harus menagih utang pajak dari jutaan masyarakat yang pajaknya langsung dipotong oleh DJPb.

Pembentukan lembaga baru ini nampaknya akan dibahas terutama dalam hal pencapaian tujuan masa depan pada kelompok calon yang efektif. Akankah lembaga baru ini memenuhi harapan, misalnya peningkatan pendapatan pemerintah secara signifikan, atau malah akan mencakup kegiatan-kegiatan baru yang lebih kompleks dibandingkan struktur yang ada saat ini?

Mengingat kewajiban pemerintah yang semakin meningkat dari waktu ke waktu untuk mewujudkan cita-cita negara, maka peningkatan pendapatan negara harus terus didorong. Apalagi ada atau tidaknya lembaga pengelola pendapatan daerah baru merupakan kebijakan yang akan dipilih presiden mendatang.

Namun, bentuk kelembagaan bukanlah segalanya untuk mencapai tujuan pendapatan. Dibutuhkan lebih banyak dukungan politik, terutama ketika menargetkan pengusaha kulit hitam yang mempunyai masalah terkait pajak. (mik/mik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *