Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Menghijaukan Gambut Demi Mengatasi Krisis Perubahan Iklim

Saat ini, seiring dengan semakin mendesaknya isu perubahan iklim dan meningkatnya kebutuhan akan sumber daya alam yang berkelanjutan, penting untuk fokus pada cara terbaik memulihkan hutan lahan gambut demi masa depan yang berkelanjutan dan mengurangi emisi karbon secara efektif.

Lahan gambut kita mempunyai potensi yang luar biasa. Menghijaukan lahan gambut bukan sekedar mimpi, namun merupakan visi nyata untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan dan berkelanjutan.

Menyusul pergerakan global menuju Perjanjian Paris, berbagai penelitian mulai memprioritaskan peran sektor lahan dalam mencapai target global dalam menjaga kenaikan suhu permukaan. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya peran sektor pertanahan memunculkan penelitian yang menekankan peran alam dalam menyelesaikan permasalahan iklim (Nature-Based Solutions atau NBS).

Sebagai negara yang memiliki hutan alam yang luas (±89 juta hektar) dan 13 juta hektar ekosistem tinggi karbon, yang sebagian diantaranya berada di lahan gambut, Indonesia telah menempatkan NBS di garis depan agenda pembangunan berkelanjutan nasional. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai penyerapan bersih pada tahun 2030 di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU). Kegiatan mitigasi NBS di Indonesia meliputi perlindungan konversi hutan alam, perlindungan hilangnya vegetasi lahan gambut, perlindungan dekomposisi lahan gambut, perlindungan kebakaran lahan gambut. perlindungan konversi mangrove, kegiatan reboisasi, restorasi lahan gambut dan mangrove, serta pengelolaan hutan lestari.

Di antara klasifikasi NBS, penyerapan karbon melalui kegiatan reboisasi mempunyai manfaat langsung dengan menyerap karbon dari atmosfer dan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap target pengurangan karbon nasional. Meskipun terdapat banyak kegiatan reboisasi di tingkat nasional, namun inovasi teknis dalam pelaksanaan reboisasi (seperti pemupukan, pembibitan, dan lain-lain) melalui teknologi hijau masih berjalan lambat, padahal kegiatan penanaman dapat memberikan tingkat penyerapan karbon yang signifikan. Dibandingkan dengan lahan yang tidak produktif sebagai patokan, dalam siklusnya, kegiatan reboisasi seringkali menghasilkan emisi (misalnya penggunaan plastik, pupuk kimia, cara pembakaran dalam pembukaan lahan, dan lain-lain) yang sering kali tidak dipedulikan oleh berbagai pihak.

Di lahan gambut, metode pembakaran dianggap sebagai pilihan yang praktis dan murah. Namun, dampak negatif terhadap lingkungan mungkin lebih besar daripada manfaat ekonomi dari pembakaran. Dengan latar belakang ambisi nasional untuk mencapai target penurunan emisi, inovasi teknis dengan mengutamakan teknologi hijau dalam reboisasi menjadi penting untuk meningkatkan kelangsungan perkebunan dan hutan. meminimalkan emisi karbon sepanjang siklus hidup. Untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim diperlukan pendekatan yang holistik dan terpadu.

Dengan memahami kompleksitas dan keterkaitan berbagai elemen mitigasi, kebocoran emisi dari langkah-langkah mitigasi yang dilaksanakan dapat dihindari, sehingga menghasilkan pengurangan dampak yang optimal. Untuk lahan gambut terdegradasi yang luas (~24 juta ha), kegiatan reboisasi diharapkan dapat berkontribusi terhadap target NBS dan membawa manfaat tambahan melalui Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pusat Standardisasi Alat Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim bekerja sama dengan The Mushroom Initiative melaksanakan kegiatan penghijauan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.

Kegiatan penghijauan dilakukan dengan konsep 4N (tidak ada pembakaran, tidak ada plastik, tidak ada pupuk kimia dan spesies asli). Menurut Prof (Pic) Maman Turjaman selaku project leader: “Konsep 4N merupakan teknologi hijau untuk merestorasi lahan gambut yang terdegradasi secara berkelanjutan dan rendah emisi. Kegiatan reboisasi dilakukan dengan menggunakan berbagai spesies asli lahan gambut, dimulai dari kayu produk” .produk bukan kayu (NWFP) Proses pembibitan menggunakan bahan organik untuk menghindari penggunaan plastik, seperti wadah penyimpanan anyaman.

Pekerjaan pembersihan dilakukan dengan membuang semak belukar, semak belukar dan sisa-sisa kayu, tanpa membakarnya. Selain itu, untuk menggantikan penggunaan pupuk kimia, kegiatan penghijauan diawali dengan pemberian inokulan mikoriza yang membantu tanaman menyerap unsur hara. Setelah satu tahun penanaman, tingkat kelangsungan hidup penanaman lebih dari 80%. Efisiensi pertumbuhan reboisasi bervariasi antar spesies, dimana kinerja yang baik terdapat pada spesies Belangeran, Jelutung, Pelawan dan Tembesu.

Dalam kondisi baik, pertumbuhan tinggi dan diameter pohon berkisar antara 50 – 110 cm/tahun hingga 0,75 – 2,75 cm/tahun. Melalui penanaman, potensi mitigasi karbon dapat mencapai 2 hingga 50 t CO2 per ha pada jarak tanam 3m x 3m.

Selain manfaat karbon, konsep 4N juga dapat membantu meningkatkan kesadaran terhadap produk lahan gambut seperti pot anyaman puruna. Selain itu, ditinggalkannya penggunaan pupuk pada areal reboisasi dapat menjadi bukti pembelajaran bagi petani lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk kimia. Menghilangkan penggunaan plastik untuk wadah benih dapat menghindari hingga 9 kg sampah plastik per ha, sehingga menghindari penggunaan pupuk kimia. akan membantu menghindari emisi hingga 54 kg CO2e per ha. Mengganti penggunaan pupuk kimia untuk penanaman dapat membantu menghindari emisi sebesar 1,65 kg N2O-N per 1000 kg pengurangan pupuk NPK (IPCC 2006).

Praktik pembukaan lahan tanpa pembakaran juga dapat membantu menghindari emisi hingga 290 t CO2-eq. per hektar gambut dan semak belukar. Seluruh pengurangan dan penghindaran emisi yang terkait dengan praktik 4N menjadi signifikan bila diterapkan pada proyek reboisasi skala besar. Mengacu pada hasil positif penerapan konsep 4N (Gambar 2), sangat disarankan untuk menggunakan pendekatan ini dalam kegiatan reboisasi skala besar. . Fokus pada emisi karbon rendah sepanjang siklus hidup dapat menciptakan posisi tawar bagi pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan reboisasi (pihak swasta, masyarakat, dll.) untuk memperoleh insentif yang lebih besar berdasarkan sistem nilai ekonomi karbon atas biaya tambahan yang timbul sehubungan dengan kegiatan reboisasi di umum. Tindakan kolektif sangat penting untuk mengambil tindakan guna memitigasi dampak perubahan iklim. Pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang mendorong restorasi hutan lahan gambut dan pengurangan karbon. Dukungan finansial dan peraturan yang diperlukan harus diberikan untuk mendorong pemulihan dan teknologi ramah lingkungan yang berkelanjutan. Untuk menghentikan perubahan iklim dan mencapai masa depan yang berkelanjutan, penting untuk melestarikan dan memulihkan hutan lahan gambut tanpa kebocoran emisi. Restorasi gambut, penggunaan teknologi ramah lingkungan, kesadaran masyarakat dan tindakan kolektif merupakan langkah-langkah penting.

Dengan melindungi dan memulihkan hutan lahan gambut, kita dapat menjamin masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang dan secara signifikan mengurangi dampak perubahan iklim. (mik/mik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *