Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Pengembangan Kilang untuk Ketahanan Energi dan Hilirisasi Migas

Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional terus menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya. Selama dekade terakhir, konsumsi bahan bakar nasional meningkat dari sekitar 1,1 juta barel per hari menjadi 1,5 juta barel per hari.

Peningkatan konsumsi bahan bakar dalam negeri juga berdampak pada peningkatan impor bahan bakar dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Bisnis dan Badan Usaha, impor bahan bakar dalam negeri meningkat dari 140,5 juta barel pada tahun 2018 menjadi 145,2 juta barel pada tahun 2022. Pada periode tersebut, proporsi impor BBM untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional juga cukup tinggi, yakni sebesar 31,8%. .

Peningkatan kapasitas kilang nasional yang tidak sebanding dengan peningkatan konsumsi bahan bakar menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya impor bahan bakar dalam beberapa tahun terakhir. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan sejak tahun 1984 hingga 2022, kapasitas kilang dalam negeri meningkat sekitar 361,6 ribu barel per hari (kbpd). Sementara pada periode yang sama, konsumsi minyak nasional meningkat sekitar 1.295 kbpd.

Kebijakan Pembangunan Kilang Nasional Jika dicermati, dapat dikatakan bahwa langkah pemerintah dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan terkait impor bahan bakar dalam negeri sudah cukup jelas. Pada tingkat kebijakan makro, pemerintah telah melaksanakan kebijakan revitalisasi dan pengembangan kapasitas kilang nasional melalui proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Core Refinery (GRR).

Melalui proyek ini, pemerintah ingin meningkatkan kapasitas kilang dalam negeri dari 1,151 juta barel per hari pada tahun 2022 menjadi 1,425 juta barel per hari pada tahun 2028.

Beberapa kilang dalam negeri tercatat ikut serta dalam proyek RDMP, termasuk Kilang Balongan yang menargetkan peningkatan kapasitas sebesar 25 kbpd dari 125 kbpd menjadi 150 kbpd. Lalu ada kilang Balikpapan yang menargetkan peningkatan dari 260 kbpd menjadi 360 kbpd yang dijadwalkan selesai pada 2024. Selain itu, proyek RDMP juga akan mencakup Kilang Cilacap, Plaju, dan Dumai yang dijadwalkan selesai pada tahun 2026.

Sedangkan pembangunan kilang yang dibangun dalam proyek GRR merupakan pembangunan kilang baru di Tuba yang dijadwalkan mulai beroperasi pada tahun 2028. Proyek GRR Tuban diharapkan memiliki kapasitas kilang sebesar 300 kbpd. Kilang Tuban juga menargetkan dapat memproduksi produk petrokimia sebanyak 4.701 KTPA atau setara dengan 30% kebutuhan petrokimia dalam negeri saat ini.

Rencana makro pembangunan kilang-kilang tersebut di atas kabarnya tidak hanya mampu mengendalikan impor BBM dalam negeri, namun menurut perhitungan pemerintah, proyek RDMP dan GRR tersebut juga akan memberikan multiplier effect terhadap perekonomian nasional.

Untuk pelaksanaan proyek GRR Tuba misalnya, proyek ini berpotensi memberikan tambahan investasi nasional setara 13,5 miliar dolar atau 205,05 triliun rupiah. Proyek ini diperkirakan akan menyerap 20.000 pekerja saat konstruksi dan 2.500 saat pekerjaan dimulai.

Selain dampak jangka pendeknya, penyelesaian proyek RDMP dan GRR juga mempunyai peran strategis dalam mendukung upaya jangka panjang pemerintah dalam memperluas kegiatan hilir di sektor migas. Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, pemerintah telah menetapkan rencana perluasan program migas yang akan dilaksanakan antara tahun 2025 hingga 2040.

Program ini memiliki total target investasi sebesar Rp1,053 miliar, dengan alokasi dana sebesar Rp314,71 miliar untuk oil safeguard dan Rp771,70 miliar untuk gas bumi.

Program hilirisasi migas dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja sektor moneter Indonesia dan stabilitas nilai tukar rupiah. Penerapan transformasi migas diharapkan dapat menghemat penggunaan devisa impor sekitar $73,3 miliar atau setara Rp1,134 triliun.

Tantangan Pembangunan Kilang Dalam Negeri Implementasi beberapa proyek RDMP dan GRR yang disebutkan di atas memerlukan lingkungan investasi yang mendukung. Penting untuk memastikan bahwa entitas komersial yang terlibat dalam revitalisasi dan pengembangan kilang dapat memenuhi komitmen yang telah disepakati.

Beberapa penelitian, termasuk yang dilakukan oleh US Energy Information Administration, menyatakan bahwa industri kilang merupakan industri padat modal dengan sistem operasi yang kompleks. Keputusan pengembangan industri kilang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor terkait aspek lingkungan, ketersediaan lahan, kepastian pasar dan volatilitas harga minyak sebagai bahan baku utama.

Secara umum, struktur biaya pembangunan kilang minyak umumnya dipengaruhi oleh kegiatan konstruksi dan infrastruktur, serta transportasi dan logistik, yang menyumbang lebih dari 60% dari total investasi pembangunan kilang minyak. Sedangkan 30% lainnya mencakup aspek penyediaan lahan, keamanan, dan persyaratan lingkungan hidup.

Sudah menjadi praktik umum di banyak negara bagi pemerintah untuk memberikan perlakuan khusus guna mendukung pengembangan industri pengilangan di negaranya. Untuk mengimbangi margin keuntungan yang relatif kecil, pemerintah sering memberikan insentif investasi dan insentif pajak untuk memastikan bahwa industri pengilangan tetap kompetitif dalam konteks perekonomian yang lebih luas.

Dalam beberapa kasus, untuk kepentingan yang lebih luas, seperti menjaga ketahanan energi dan menciptakan cadangan minyak strategis, pemerintah berbagai negara mengambil peran sebagai pelaksana langsung dalam pembangunan kilang.

Setelah dibangun, kilang-kilang tersebut dapat dikelola langsung oleh pemerintah atau melalui pihak lain yang mewakili kepentingan pemerintah negara yang bersangkutan, baik itu perusahaan milik negara maupun swasta.

Keterlibatan pemerintah Belajar dari konsep bisnis pembangunan kilang yang diterapkan secara global, dapat disimpulkan bahwa intervensi pemerintah mempunyai peranan penting dalam keberhasilan pembangunan kilang di suatu negara.

Dalam rangka pengembangan kapasitas pengilangan nasional dan dalam upaya percepatan pencapaian tujuan proyek RDMP dan GRR tersebut di atas, pemerintah pada dasarnya mempunyai beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan. Pertama, pemerintah dapat mengambil sikap progresif dengan memberikan bantuan pembangunan dengan menggunakan dana yang dialokasikan dari pemotongan anggaran subsidi BBM.

Kedua, pemerintah dapat mengambil sikap moderat dengan memberikan jaminan dan insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang mempertimbangkan kerja sama dengan Pertamina. Intervensi pemerintah dalam hal ini menjadi faktor yang memungkinkan pembangunan proyek kilang nasional dapat dilaksanakan dan dilaksanakan dengan baik. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *