Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Penguasaan Teknologi & Penurunan Utang Belanja Pertahanan RI

Apa yang terjadi pada rapat terbatas di Istana Bogor tentang anggaran pertahanan pada 28 November 2023, sejatinya merupakan pukulan telak bagi Kementerian Pertahanan. Meski Menkeu mengklaim alokasi pinjaman luar negeri (PLN) periode 2020-2024 meningkat lebih dari 4 miliar USD dari 20,7 miliar USD menjadi 25,7 miliar USD pada 2020-2024. merupakan pengurangan alokasi utang yang sebelumnya telah disetujui oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapena.

Fakta menunjukkan, dalam daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024 Kementerian Pertahanan (DRPLN-JM) revisi ketiga yang dirilis Desember 2022, alokasi PLN sebesar USD 25,7 miliar. Selain itu, pada Mei 2023, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas kembali menambah alokasi PLN Kementerian Pertahanan menjadi US$34,4 miliar.

Merujuk pada keputusan rapat Istana Bogor, alokasi PLN pada hakekatnya sudah kembali pada Desember 2022 atau sebelum revisi keempat DRPLN-JM 2020-2024. Sebaliknya, pada April 2021 hingga April 2023, Menteri Keuangan menyetujui penetapan sumber pendanaan (FSP) sebesar USD 25,04 miliar untuk Kementerian Pertahanan.

Artinya, besaran alokasi PLN tahun 2020-2024 sesuai dengan besaran PSP yang disetujui Menteri Keuangan. Pertanyaannya adalah program akuisisi senjata mana yang akan dilanjutkan dan program mana yang tidak?

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto diketahui mempunyai ambisi untuk memperoleh sistem persenjataan yang cukup masif pada masa kepemimpinannya di Kementerian Pertahanan. Beberapa tahun lalu, menteri mengusulkan anggaran pengadaan kendaraan militer sebesar $124 miliar untuk tahun 2020-2024, namun Presiden Joko Widodo tidak menyetujuinya.

Hingga tahun 2020, Buku Biru Kementerian Pertahanan telah direvisi sebanyak empat kali oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bapena berdasarkan rekomendasi Kementerian Pertahanan. Tampaknya revisi tersebut secara tidak langsung berkaitan dengan kegagalan menerima alokasi belanja sebesar US$124 miliar.

Penurunan alokasi PLN untuk Kementerian Pertahanan mengancam sejumlah program utama pengadaan yang telah disebutkan sebelumnya dalam DRPLN-JM revisi keempat 2020-2024. Beberapa program pengadaan utama yang belum mendapat PSP dari Menteri Keuangan antara lain F-15EX, fregat FREMM, dan rudal udara-ke-udara Rafale.

Karena alokasi DOD kepada DOD telah mencapai kuotanya, kemungkinan besar beberapa program akuisisi dalam jumlah besar akan dilanjutkan dengan mengorbankan sedikit program yang menerima PSP. Misalnya, rencana PLN untuk membeli jet tempur Mirage 2000-5 bekas dari Qatar dapat dialihkan untuk mendukung proyek lain yang lebih mendesak, karena program tersebut sedang ditunda.

Sementara itu, beberapa program akuisisi besar seperti pembelian kapal selam tampaknya sudah memasuki tahap akhir. Sejauh ini, Naval Group, yang mengusulkan kapal selam Scorpene Evolved, memimpin persaingan untuk proyek senilai US$2,1 miliar tersebut.

Sementara itu, proses aktivasi kontrak 18 jet tempur Rafale batch terakhir masih berlangsung dan jika semuanya berjalan lancar, kami berharap kontrak tersebut dapat diaktifkan pada tahun depan. Tantangan dalam program yang akan segera dikontrak ini adalah Departemen Pertahanan harus segera menyerahkan pembaruan PSP kepada Menteri Keuangan sebelum PSP tertentu habis masa berlakunya.

Dengan alokasi PLN yang hanya sebesar USD 25,7 miliar, Kementerian Pertahanan harus selektif memilih program pengadaan mana yang akan diprioritaskan. Program pengadaan yang akan menghadapi kesulitan pendanaan dari lembaga keuangan, seperti pembelian sistem persenjataan tertentu dari Turki, sebaiknya tidak dilanjutkan.

Hal ini penting mengingat meskipun alokasi PLN sebesar USD 34,4 miliar telah dibatalkan, tampaknya beberapa proyek pengadaan yang tercakup dalam alokasi tersebut akan tetap berjalan dalam skala prioritas. Tentu saja, ada juga beberapa proyek yang masuk dalam DRPLN-JM revisi keempat 2020-2024 tidak dilanjutkan, mengingat kuota PLN sebesar USD 25,7 miliar.

Merujuk pernyataan Menkeu, alokasi PLN pada tiga periode perencanaan strategis pertahanan – 2020-2024, 2025-2029, dan 2030-2034 – sebesar 55 miliar dolar AS. Dengan total $25,04 miliar yang dibelanjakan untuk PSP selama tahun 2020-2024, tersisa sekitar $30 miliar untuk dua periode perencanaan strategis berikutnya.

Namun perlu ditegaskan, sisa alokasinya yakni 30 miliar dolar bisa berubah, karena sangat bergantung pada kebijakan presiden terpilih pada pemilu 2024 dan 2029, seperti diketahui masing-masing presiden punya hak. kekuasaan untuk memutuskan kebijakan fiskal dan tidak dapat didikte oleh pendahulunya.

Terlepas dari alokasi PLN 2025-2029 untuk belanja pertahanan, tampaknya alokasi tersebut akan tetap difokuskan pada kegiatan transfer teknologi melalui kegiatan akuisisi sistem persenjataan. Jarang sekali pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk kegiatan transfer teknologi, kecuali program khusus seperti KFX/IFX.

Bahkan untuk proyek seperti KFX/IFX, pemerintah mempunyai kendala yaitu kurangnya komitmen untuk membayar cost share sehingga berdampak pada akses Indonesia terhadap teknologi yang dijanjikan Korea Selatan.

Terkait penguasaan teknologi maju di bidang pertahanan setelah tahun 2024, pemerintahan baru sebaiknya melanjutkan beberapa program berdasarkan skala prioritas. Di antara 10 proyek prioritas industri pertahanan, pemerintahan baru harus memberikan prioritas pada kapal selam, kapal perusak, dan mesin propulsi.

Ketiga program ini lebih mudah dilaksanakan karena pemerintahan baru memiliki pengaturan politik, termasuk alokasi anggaran. Harus diakui bahwa salah satu tantangan dari 10 prioritas industri pertahanan saat ini adalah komitmen alokasi anggaran.

Ada tren kuat dalam program dominasi teknologi kapal selam dimana pemerintah tertarik dengan usulan Naval Group karena akan membawa manfaat dalam hal keterampilan dan pengetahuan teknis untuk membangun kapal selam. Selain itu, dari $2,1 miliar yang dialokasikan untuk program pengadaan kapal selam, $600 juta dialokasikan oleh Korps Marinir untuk dibelanjakan di Indonesia.

Sedangkan untuk program jet tempur, Indonesia kini sudah melewati point of no return sehingga sebaiknya melanjutkan program KFX/IFX, termasuk melanjutkan pembayaran cost share dan mendesak Korea Selatan untuk melakukan kegiatan transfer teknologi seperti yang dijanjikan sebelumnya.

Sedangkan untuk proyek mesin, pemerintah harus membiayai proyek tersebut secara langsung, karena perusahaan asal Prancis tersebut telah lama siap menawarkan transfer teknologi di bidang tersebut. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *