Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Transisi Energi & Value Creation Industri Panas Bumi

Kebijakan utama pemerintah dalam menanggapi gelombang transisi energi adalah mencapai tujuan emisi nol bersih (NZE) pada tahun 2060. Lima strategi utama adalah meningkatkan dan mengurangi penggunaan energi baru dan terbarukan (EBET). energi fosil; Penggunaan kendaraan listrik pada sektor transportasi; dengan meningkatkan konsumsi listrik di rumah tangga dan industri serta menerapkan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS);

Dewan Energi Nasional (DEN) dalam konteks NZE mengenai perluasan segmen EBET. Pangsa EBET dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 39% pada tahun 2040 dan 66% pada tahun 2060.

Sumber energi panas bumi mempunyai peluang yang baik untuk memenuhi upaya pemerintah dalam mencapai target NZE pada tahun 2060. Energi panas bumi sebagai sumber energi terbarukan yang bersih mempunyai banyak potensi sumber daya dan cadangan yang dapat menyediakan dan berpotensi menghasilkan energi panas bumi. Komponen penting untuk mencapai tujuan transisi energi NZE.

Jika potensi sumber daya panas bumi Indonesia sebesar 23,7 gigawatt (GW) dapat dimanfaatkan secara maksimal, emisi gas rumah kaca (GRK) akan setara dengan sekitar 182,31 juta ton CO2e, atau 58% dari target pengurangan. Emisi gas rumah kaca di sektor energi sebesar 314 juta ton CO2e pada tahun 2030.

Listrik panas bumi

Pemanfaatan energi panas bumi di sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu bagian terpenting dalam transisi energi dan sarana untuk mencapai NZE. Pada tahun 2022, pembangkit listrik panas bumi yang terpasang akan mencapai 2,3 GW, atau 10% dari total sumber daya panas bumi yang ada.

Total kapasitas terpasang PLTP ini tercatat terbesar ketiga di antara pembangkit EBET lainnya. Dibandingkan total kapasitas terpasang pembangkit EBET nasional, pangsa kapasitas terpasang pembangkit panas bumi sekitar 18,70%.

Berdasarkan RUPTL 2021-2030, total tambahan kapasitas pembangkitan diproyeksikan mencapai 40.575 gigawatt (GW), dengan pembangkitan EBET sharing sebesar 20.923 GW atau 51,6% dan pembangkitan fosil sharing 19.562 GW atau 19.562 GW. Tambahan pembangkit listrik panas bumi diperkirakan mencapai 3.355 GW, yaitu sekitar 16% dari tambahan pembangkit listrik dari sumber EBET.

Ya, mencapai target peningkatan kapasitas memang tidak mudah. Permasalahan utama dalam pengembangan energi panas bumi di bidang ketenagalistrikan adalah:

1. Listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi menghadapi kondisi pasar pembeli tunggal.

2. Harga jual tenaga panas bumi tidak boleh melebihi harga dasar listrik nasional (BPP) dan/atau BPP listrik daerah.

3. Tidak mudah mencapai titik temu harga jual beli antara produsen dan pembeli panas bumi.

4. Biaya listrik panas bumi masih bersaing dengan listrik berbahan bakar fosil.

5. Daya dukung lembaga keuangan masih relatif terbatas.

6. Izin usaha tidak selalu diperoleh pengembang.

Penilaian Industri Panas Bumi

Perkembangan industri panas bumi tidak hanya terbatas pada pembangkitan listrik. Pemanfaatan langsung energi panas bumi di bidang pertanian, membantu budidaya di sektor hortikultura dan peternakan.

Implementasi lain dari penciptaan nilai adalah ekstraksi produk sekunder dari produksi panas bumi. Ekstraksi dan penggunaan. Jepang Islandia Italia Polandia Ekstraksi silika yang telah banyak diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Selandia Baru. Produksi metanol dan hidrogen hijau.

Silika adalah bahan mentah untuk berbagai industri kimia, dan metanol hijau serta hidrogen hijau dapat digunakan untuk menghasilkan energi dan bahan bakar.

Di Indonesia, penciptaan nilai Pertamina Geothermal Energy (PGE) pada industri panas bumi terutama dilakukan di beberapa wilayah. Uap panas bumi Lahendong dan Kamujing dimanfaatkan langsung untuk operasional pertanian dan budidaya dengan target produksi 100 kg per hari.

Di antara banyak upaya lain yang saat ini sedang dilakukan oleh PGE adalah proyek percontohan hidrogen ramah lingkungan di ladang Lahendong. Hululais mencakup studi ekstraksi silika untuk mendapatkan penilaian awal potensi ekstraksi dan studi pendahuluan potensi ekstraksi metanol hijau. Rute Hidrogen Hijau di Proyek Ulubelu.

Penerapan energi panas bumi yang menciptakan nilai pada skala yang layak secara ekonomi dan ekonomi tidak hanya akan berkontribusi pada pencapaian tujuan NZE. Selain itu, produk sekunder dari energi panas bumi dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian negara.

Dalam konteks ini, produk yang dihasilkan tidak hanya dapat dipasarkan untuk kebutuhan lokal, namun permintaan global diperkirakan akan terus meningkat. Misalnya saja untuk hidrogen, berdasarkan data yang dikumpulkan, permintaan hidrogen global diperkirakan akan meningkat sekitar 4,3% selama periode 2020 – 2030.

Sedangkan menurut keterangan Kementerian ESDM (2023), kebutuhan hidrogen Indonesia sebesar 1,75 juta ton per tahun, dengan urea (88%); Amonia (4%) Kilang minyak (2%). Permintaan ini diperkirakan akan meningkat. Pada periode 2031 – 2041, diperkirakan kebutuhan hidrogen tidak hanya datang dari sektor industri tetapi juga dari sektor transportasi sebagai bahan bakar.

Oleh karena itu, penerapan penciptaan nilai dalam industri panas bumi dengan memperluas segmen pemanfaatan langsung selain pembangkit listrik merupakan pilihan rasional yang harus didukung oleh semua pihak, sebagaimana disebutkan di atas, melalui improvisasi produk sekunder.

Banyak kendala utama yang harus diatasi adalah masih tingginya biaya produksi dan ekstraksi. kebutuhan infrastruktur transportasi dan penyimpanan; Ketidakpastian pasar tinggi, termasuk masalah rantai pasokan yang mempengaruhi perekonomian dan keberlanjutan. Keseluruhan proyek.

Untuk menciptakan nilai di sektor ketenagalistrikan dan pemanfaatan lainnya, diperlukan kemajuan dan kebijakan yang kuat untuk mengatasi permasalahan pengembangan panas bumi di Indonesia.

Salah satu pengembangan yang dapat dilakukan terkait harga listrik panas bumi adalah memberikan kompensasi kepada PLN dengan memberikan subsidi khusus atau bea masuk khusus agar PLN dapat membeli listrik panas bumi sesuai tingkat keekonomiannya.

Pilihan lainnya adalah pemerintah memberikan insentif investasi dan insentif perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi sesuai dengan kisaran harga beli listrik PLN. Keterlibatan langsung pemerintah dalam tahap eksplorasi juga menjadi salah satu pilihan kebijakan untuk memitigasi risiko kegiatan pengembangan panas bumi yang ada.

Untuk mempercepat dan meningkatkan proses penciptaan nilai, pengembangan dan penerapan produk sekunder panas bumi memerlukan kolaborasi antara berbagai organisasi untuk menciptakan ekosistem di mana teknologi dan model bisnis dapat dijalankan dan berkelanjutan. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *