Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Entrepreneur

Wah! Mulai Ramai Toko Tolak Pembayaran Pakai Uang Tunai

JAKARTA, CNBC Indonesia – Seiring berkembangnya era digital, cashless society atau masyarakat tanpa uang tunai berkembang pesat di Indonesia. Masyarakat cashless ini lebih memilih transaksi digital tanpa membayar paket.

Pada saat yang sama, transaksi digital dilakukan tidak hanya dengan kartu debit atau kartu kredit, tetapi juga dengan dompet elektronik atau kode QR dan perangkat lain yang terhubung ke Internet. Model operasi ini berkembang pesat di Indonesia. Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Bali, banyak toko dan restoran yang tidak lagi menerima pembayaran tunai.

Sebuah studi tentang perilaku pembayaran konsumen Visa menyebutkan bahwa 63 persen konsumen Indonesia membawa lebih sedikit uang tunai.

Sementara itu, laporan Center for Digital Society Universitas Gadja Mada yang mengutip Visa juga mengungkapkan bahwa 65 persen masyarakat mengakui transaksi non-tunai mudah, 55 persen mengatakan tidak rumit, dan 51 persen mengakui pembayaran non-tunai diterima. di mana pun

Penelitian Visa menunjukkan bahwa Covid-19 dapat mempercepat terciptanya masyarakat non-tunai di Indonesia pada tahun 2026, empat tahun lebih awal dari perkiraan sebelumnya pada tahun 2030.

Rupanya, saat Bank Indonesia (BI) pertama kali meluncurkan Quick Response Standar Indonesia atau QRIS pada 17 Agustus 2019, masyarakat masih belum mengenal teknologi kode QR.

Ternyata, pandemi Covid-19 membawa berkah. Karena kebijakan menjaga jarak aman di masa pandemi, QRIS dinilai cukup efektif. Masyarakat tidak perlu menggunakan uang tunai, cukup sambungkan gadgetnya dengan token QRIS. Artinya, penularan virus melalui peralatan bisa diminimalisir.

BI melaporkan peningkatan transaksi sebesar 175,44% year-on-year (y/y) pada April 2024, Standar Quick Response Code Indonesia alias QRIS. Selain itu, jumlah konsumen mencapai 48,12 juta orang dan jumlah pedagang mencapai 31,61 juta orang yang sebagian besar merupakan pedagang UMKM. Sejalan dengan itu, nilai transaksi uang elektronik (UE) meningkat 41,70 persen (year-on-year) menjadi Rp 253,39 triliun pada bulan April.

Dengan meluasnya penggunaan QRIS, banyak kafe, restoran, dan toko retail yang menerapkan kebijakan wajib tunai, artinya tidak lagi menerima uang tunai. Kebijakan ini umumnya diterima oleh banyak merchant yang menggunakan kebijakan cashless ini, misalnya. Rejuve, Titik Temu Jenggala, Shilin, Ismaya Group, Donat & Minuman, Kopi Nagara, Animo Bakery. Sedangkan toko atau restoran ini banyak terdapat di ibu kota.

Make up artist Amo Effendi mengaku mendukung gerakan cashless di Tanah Air. Namun di sisi lain, ia mengaku tetap tradisional. Dia harus menarik uang tunai dari ATM setiap minggu. Hal itu dilakukan karena ia mengetahui PKL dan pasar tradisional yang sering ia kunjungi tidak menggunakan sistem QRIS atau pembayaran nontunai lainnya.

Menurutnya, pembayaran nontunai banyak digunakan di restoran atau pusat perbelanjaan kelas menengah atas.

“Saya mendukung cashless, tapi masih ada sisi tradisionalnya, kita masih mendapat uang tunai setiap minggu, PKL di pasar masih sangat sedikit. Produsen nasi goreng kebanyakan tidak menggunakan QRIS,” ujarnya dikatakan

Amu pun mengaku kerap diminta membayar tanpa uang tunai saat berbelanja di mal. Tugas ini tidak mengganggunya saat berbelanja.

“Saya sedang berbelanja kemarin. Saya membeli jus tebu di mal. Mereka tidak menerima uang tunai lagi.” Tidak masalah karena ini pasar, karena ini properti kelas atas dan nyaman,” ujarnya.

Namun pengalaman berbeda dialami ayahnya yang seorang penjual buah. Amo mengatakan pelanggan buah ayahnya hampir semuanya kelas menengah atas dan belum terbiasa bertransaksi non-tunai. Sayangnya, sang ayah belum paham dengan sistem QRIS atau pembayaran nontunai lainnya. Oleh karena itu, metode transfer internasional sering digunakan untuk mengatasi kendala ketersediaan uang tunai di pihak penerima.

“Bapak saya penjual buah. Pelanggannya hampir semua menyetir. Mau bayar cashless, tapi bapak saya tidak paham mau transfer uang atau tidak,” ujarnya.

Namun sistem transfer internasional seringkali membebankan biaya transfer tambahan sebesar Rp 6.500-2.500 per transaksi.

“Kalau itu terjadi, aku sering ingatkan, kliennya bakalan kesal lho. Tapi dia nggak ngerti. Orang tua nggak mau dipaksa, pokoknya mereka juga nggak ngerti.”

Saksikan video di bawah ini: Video: Smelter Miniar Freeport (haa/haa) diresmikan hari ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *