Jurnal Berita

Sebuah Berita dan Informasi dari Seluruh Dunia

Opini

Trilema Bakal Calon Presiden Indonesia 2024, Trilema Energi

Menjelang Pilpres dan Wakil Presiden 2024, suasana kian panas. Mengingat sudah ada tiga kandidat yang dicalonkan sebagai presiden, masyarakat tidak hanya dihadapkan pada dilema, namun juga trilema.

Belum lama ini, pemaparan gagasannya di Universitas Gadjah Mada menjadi acara nasional. Isu penting yang diangkat mulai dari pendidikan, pangan, kesehatan hingga energi.

Kalau bicara energi, sektor ini punya trilema tersendiri. Trilema tersebut terdiri dari ketahanan energi, keadilan energi, dan kelestarian lingkungan.

Dewan Energi Dunia mendefinisikan ketahanan energi sebagai kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan energinya saat ini dan di masa depan. Keadilan energi mencakup dimensi memastikan akses energi yang andal dan terjangkau bagi seluruh masyarakat.

Pada saat yang sama, kelestarian lingkungan dinilai berdasarkan keberhasilan sistem energi suatu negara dalam hal kemampuannya memastikan transisi yang lebih ramah lingkungan.

Tantangan Trilema Energi Indonesia Saat Ini Mengingat pentingnya energi bagi kehidupan manusia, sudah selayaknya calon presiden menyadari betapa rumitnya tantangan yang dihadapi setiap pilar trilema energi di Indonesia. Dalam hal ketahanan energi misalnya, Indonesia mempunyai tugas berat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, konsumsi listrik per kapita meningkat hampir setiap tahun selama 52 tahun terakhir. Baru pada tahun 1973, 1976, dan 1998 trennya menurun.

Dalam hal bahan bakar minyak (BBM), Indonesia telah menjadi net importir sejak tahun 2008. Artinya, jumlah bahan bakar yang bisa disediakan negara ini tidak akan cukup jika tidak mengimpor dari negara lain. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, permasalahan ketahanan energi menjadi semakin kompleks.

Sementara itu, Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai untuk menyediakan akses energi yang setara bagi masyarakat dari Sabang hingga Merauke.

Berdasarkan data terakhir per Juni 2023, masih terdapat 1,2 juta rumah tangga yang belum memiliki listrik, terutama di daerah tertinggal, perbatasan, dan terluar (3T). Ini belum termasuk banyaknya daerah yang menggunakan generator diesel yang hanya menghasilkan listrik beberapa jam per hari.

Terakhir, sebagai salah satu eksportir batubara terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan dalam memenuhi target transisi energi dan isu perubahan iklim. Tidak perlu melangkah jauh untuk memastikan Indonesia menjadi negara net zero emisi pada tahun 2060, sementara impian bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 masih jauh dari kenyataan.

Ketergantungan negara ini pada energi fosil dan kurangnya ekosistem pendukung energi bersih terus menjadi kendala utama.

Tak heran jika Indonesia menempati peringkat 81 dari 125 negara dalam Indeks Trilema Energi Dunia 2022 yang dirilis baru-baru ini. Kehadiran negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia di peringkat 45 dan 46 dalam peringkat ini cukup meresahkan.

Bahkan, Indonesia mendapat nilai ā€œAā€ pada kolom ketahanan energi. Kemungkinan besar, nilai tersebut disebabkan tingginya produksi batu bara dan gas dalam negeri. Meski demikian, Indonesia masih mendapat nilai ā€œCā€ untuk pemerataan energi dan kelestarian lingkungan, hal ini tentu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.

Menyeimbangkan trilema energi Dalam berbagai kesempatan, ketiga calon presiden memaparkan gagasan dan programnya di bidang energi. Ada kandidat yang mempromosikan lima pilar transisi energi untuk menciptakan energi yang manusiawi.

Ada pula yang mengajukan ide pengembangan energi hijau dan biru. Sementara itu, kandidat lainnya juga menegaskan komitmennya untuk tidak mengimpor lebih banyak energi.

Ide-ide yang diusung masing-masing calon presiden tentu akan mendorong perubahan di bidang energi ke arah yang lebih baik. Namun jika melihat konsep trilema energi, penyelesaian satu permasalahan pada ketiga pilar tersebut harus menjadi landasan utama dalam pembentukan impian sektor energi Indonesia lima tahun ke depan.

Seorang calon presiden tidak bisa begitu saja berjanji untuk secara signifikan meningkatkan penggunaan energi terbarukan kepada generasi milenial dan generasi Z yang sadar lingkungan. Atau misalnya berkampanye di daerah terpencil dengan janji manis bahwa listrik di desanya tidak akan padam setiap 8 jam sekali.

Apalagi, saat berkuasa, ia berkoar-koar di berbagai forum akademis dan profesional bahwa pasokan listrik akan stabil. Jangan hanya untuk suara yang mereka tuju, satu kolom lebih penting dari dua kolom lainnya. Semuanya harus dikonsep secara matang dan seimbang.

Karena ibarat pilar-pilar yang bersatu agar sebuah bangunan tetap kokoh, ketiga pilar trilema energi tersebut harus dijaga dan diperkuat secara paralel agar negara tidak goyah.

Keluar dari Zona Nyaman Calon presiden harus rela menjadi politisi yang tidak bisa menyenangkan semua pihak jika sadar akan pentingnya sekaligus memperkuat tiga pilar trilema energi.

Misalnya, revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh berbagai pihak. Penghapusan sistem ekspor tenaga listrik ke jaringan PLN, adanya pembatasan kuota, dan program instalasi yang dibuka dua kali dalam setahun mematikan minat masyarakat untuk memasang PLTS di rumah dan gedungnya.

Keinginan untuk mewujudkan bauran energi terbarukan tidak tercermin dalam revisi peraturan ini, dan masyarakat mempertanyakan sikap defensif PLN dalam mengadopsi bauran energi. Perekonomian dan stabilitas permintaan listrik memang penting, namun sayang sekali jika kita tidak memanfaatkan potensi besar yang ada untuk masa depan energi yang lebih baik.

Keluar dari zona nyaman adalah hal yang tidak bisa dihindari. Menciptakan kebijakan untuk menyeimbangkan trilema energi mungkin memerlukan keberanian untuk mengganggu sistem energi yang ada.

Kandidat presiden harus bersedia menerima bantuan dari segelintir pengusaha yang bisnis energi fosilnya terganggu dengan tujuan mengarahkan subsidi untuk pembangunan pabrik panel surya secara besar-besaran dan memberikan insentif yang menarik bagi mereka yang ingin memasangnya di dalam negeri. Atau mereka harus membentuk lembaga yang menginformasikan kepada masyarakat bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) bisa menjadi alternatif jika diperlukan.

Apapun yang mereka usulkan, tetap harus didasarkan pada objektivitas, inovasi dan implementasi berdasarkan konteks lokal dan keadaan yang berkembang, hingga kebijakan yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Keseriusan calon presiden dalam menyelesaikan persoalan trilema energi tidak bisa dibicarakan tanpa mengesampingkan pentingnya persoalan lain. Pendekatan mereka yang tunggal terhadap masalah ini tidak boleh mengarah pada segi empat yaitu ketidakpedulian dan tidak memilih siapa pun sebagai pilihan populer keempat.

Untuk saat ini, tidak ada yang lebih penting dari para calon presiden yang serius menyikapi permasalahan yang ada. Inilah saatnya mengedepankan kepentingan masa depan bangsa. (mg/mg)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *